Sensor dan Tabu
S*x Education

beberkan
BEBERKAN SPECIAL EDITION 3

Kajian dan Aksi Strategis IMTK FTUI 2022

A. Definisi dan Pentingnya Edukasi Seksual

Seksualitas dapat dimengerti sebagai dimensi dari menjadi manusia, yang meliputi pengertian dan hubungan dengan tubuh manusia, keterikatan emosional, seks, jenis kelamin, identitas gender, orientasi seksual, keintiman seksual, kepuasan, dan reproduksi. Seksualitas adalah suatu hal yang kompleks dan meliputi dimensi-dimensi biologis, sosial, psikologis, spiritual, agama, politik, hukum, sejarah, dan budaya yang berkembang.
 

Pendidikan seksual yang komprehensif (Comprehensive sexuality education atau CSE) adalah pendidikan yang mengajarkan aspek kognitif, emosional, fisik, dan sosial dari seksualitas. CSE bertujuan untuk mengajarkan anak-anak dan remaja dengan pengetahuan, keterampilan, sikap, dan nilai yang menyadarkan mereka akan kesehatan, kesejahteraan, dan harga diri; menjalankan hubungan sosial dan seksual secara hormat; menyadarkan akan dampak yang ditimbulkan kepada diri dan orang lain dari pilihan-pilihan mereka, dan mengerti serta meyakinkan perlindungan akan hak asasi mereka. Pendidikan seksual yang komprehensif diberikan sesuai dengan usia anak/remaja, dan harus mencakup informasi akurat terkait abstinence (pilihan untuk tidak melakukan hubungan seksual sebelum menikah) dan juga kontrasepsi, pencegahan penularan infeksi menular seksual dan kehamilan yang tidak direncanakan, serta keterampilan komunikasi, penolakan, dan negosiasi seksual. CSE mempromosikan hak untuk memilih kapan dan dengan siapa seseorang memutuskan untuk berelasi intim atau seksual, tanggung jawab yang timbul dari pilihan tersebut, dan sikap hormat terhadap sesama akan pilihan pribadinya. Pilihan-pilihan yang dimaksud disini adalah hak untuk menolak, menunda, atau berpartisipasi dalam hubungan seksual.

Faktanya, pendidikan seksual di Indonesia masih sangat minim, atau dengan kata lain, kita sedang berada dalam krisis pendidikan seksual. Riset yang dilakukan oleh Durex Indonesia tentang Kesehatan Reproduksi dan Seksual menunjukkan 84 persen remaja berusia 12-17 tahun belum mendapatkan edukasi seks, dan sebagian kecil orang-orang yang pernah menerima sex education mengaku sex education yang diterima tidak cukup. Hal ini disebabkan karena sebagian besar sex education yang diperoleh hanyalah sebatas seks diluar nikah. Abstinence-only education atau pendidikan seksualitas yang secara eksklusif hanya mengajarkan kepada remaja untuk tidak melakukan hubungan seksual sampai menikah tidak berhasil dalam menurunkan angka kehamilan dan penularan penyakit menular seksual pada remaja. Dengan kata lain, mereka tetap merasa penasaran terhadap seks konsekuensinya adalah cenderung melakukan hubungan seksual tersebut secara tidak aman dibandingkan dengan remaja yang mendapatkan pendidikan seksualitas secara komprehensif (melibatkan pengetahuan tentang kontrasepsi dan akses untuk mendapatkan pemeriksaan kesehatan seksual).

Ni Luh Putu Maitra Agastya, peneliti senior di Pusat Kajian dan Advokasi Perlindungan dan Kualitas Hidup Anak (PUSKAPA) Universitas Indonesia, menekankan betapa pentingnya pendekatan edukasi seks secara komprehensif karena menempatkan consent dan etika berhubungan dengan orang lain sebagai fondasi kurikulumnya.“Yang harus menjadi fokus adalah bagaimana memberdayakan dan menyiapkan anak dan anak muda untuk menjadi orang dewasa yang bertanggung jawab, yang dapat membuat keputusan secara mandiri. Bukan untuk ‘mensterilkan’ mereka dari perilaku berisiko”, katanya. “Kita perlu lebih banyak diskusi tentang consent dan apa artinya dalam konteks anak muda”. Memberikan pendidikan seksualitas kepada anak/remaja bukanlah sekedar memberikan informasi tentang apa seks dan apa itu kontrasepsi, tetapi menumbuhkan perasaan dan kemampuan bertanggungjawab dalam diri anak/remaja untuk membuat keputusan seksualnya berdasarkan informasi yang kredibel dan nilai-nilai yang ia anut.

B. Hambatan Agama dan Budaya terhadap Kondisi Tabunya Edukasi Seksual di Indonesia

Pendidikan seks telah lama menjadi sumber kecemasan bagi orang tua, terutama mereka yang memiliki keyakinan agama yang kuat. Banyak orang tua ingin memastikan kurikulum pengajaran tidak merusak pandangan moral dan agama mereka. Mereka menganggap bahwa pendidikan seksual yang komprehensif terlalu liberal dan informasi-informasi seperti metode kontrasepsi dan orientasi seksual seperti homoseksual tidak boleh diajarkan dan seperti dianggap tidak ada sama sekali. Mereka berpikir bahwa berbicara tentang seks dengan anak-anak akan mendorong mereka untuk melakukan eksperimen seksual. Ditakutkan anak-anak dan remaja dapat mengambil keputusan mengenai perilaku seksual sebagai pilihan pribadi, menyebabkan sebagian besar orang tua keberatan anak-anak mereka berpartisipasi dalam kelas pendidikan seksual.

Secara implisit, pendidikan seksual telah diajarkan di sekolah-sekolah dalam bidang biologi, agama, dan ilmu sosial. Namun, hampir semua sekolah enggan untuk memperkenalkan pendidikan seks dasar di luar pengetahuan berbasis sains sehingga tidak cukup bagi siswa untuk memahami tentang pendidikan seksual. Ada beberapa alasan mengapa pendidikan seksual masih kurang mendapat perhatian untuk diajarkan secara formal di sekolah, salah satu yang utama adalah masih banyak orang yang menganggap bahwa mengajarkan pendidikan seks merupakan hal yang tabu. Hal tersebut dipengaruhi oleh faktor agama dan budaya karena perspektif-perspektif mengenainya dapat mempengaruhi individu dalam membentuk dan menginformasikan identitas mereka.

Meskipun Indonesia bukan merupakan negara Islam, Indonesia merupakan negara dengan 90% di antara jumlah penduduk sekitar 210 juta jiwa beragama Islam. Hukum Islam yang dinyatakan dalam Sunnah dan Al-Qur’an memberikan pedoman yang jelas tentang apa yang pantas dan tidak pantas bagi umat Islam di bidang perilaku seksual. Dari sudut pandang Islam, kohabitasi, kemitraan homoseksual, tindakan seksual, kebebasan untuk menentukan kapan harus melepaskan keperawanan dan berhubungan seks sebelum menikah tidak pantas untuk program pendidikan seksual apapun untuk memberikan pengetahuan seperti itu kepada anak-anak. 

Dalam Islam, hubungan seksual tanpa adanya pernikahan adalah zina. Zina mencakup semua tindakan hubungan seksual yang terjadi di luar pernikahan yang disahkan secara agama. Dalam Islam, menahan diri dari aktivitas seksual dan segala sesuatu yang mengarah padanya terkait erat dengan kesetiaan kepada Tuhan. Pantang adalah strategi terbaik yang tersedia untuk mencegah kehamilan dan penyakit menular seksual termasuk HIV/AIDS. Pantang Muslim berarti kurangnya godaan dan terhadap seks pranikah. Indikator tradisional’’wanita yang baik’’ dalam Islam sering digambarkan sebagai berikut: tidak boleh aktif secara seksual atau tidak pernah melakukan kontak seksual sebelum menikah. Demikian pula, beberapa interpretasi agama yang mendasar juga menentang seks pranikah. Pemahaman tentang reproduksi dan seksualitas dengan kacamata agama sangat sesuai dengan pemberian pendidikan seks terlepas dari budaya tabu seksual yang mungkin tercakup dalam pemahaman. Ketika tindakan yang haram (dilarang secara agama) disalahpahami, hal ini mengarah pada stigmatisasi. Stigmatisasi seksualitas mengarah pada rasa malu, rasa bersalah, dan penyangkalan, yang bukanlah bagaimana seksualitas secara keseluruhan direpresentasikan dalam ajaran agama. Oleh karena itu, sebenarnya ketentuan ajaran agama secara keseluruhan terhadap seks pranikah tidak serta merta bertentangan dengan ketentuan pendidikan seks dan pemberian pendidikan seks tidak bertentangan dengan hak anak atas informasi tentang kesehatan seksual.

Selain hambatan agama, kepekaan budaya juga dipandang sebagai kendala utama dalam penyampaian pendidikan seks di sekolah yang berhubungan dengan agama, masyarakat dan orang dewasa seperti ketidaknyamanan orang tua dan guru dalam menjelaskan pendidikan tersebut. Mengungkapkan informasi sensitif membuat orang merasa rentan, menyebabkan orang sering menolak untuk membicarakan seks demi perlindungan diri. Selain rasa malu, ketakutan akan penilaian orang tua menjadi alasan lain yang membuat remaja enggan membicarakan masalah seksual dengan orang tuanya. Masih adanya pemahaman yang salah tentang pengajaran pendidikan seks menyebabkan beberapa orang tua menilai bahwa mengajar pendidikan seks adalah mengajarkan bagaimana melakukan hubungan seksual.

Berbicara secara tidak langsung dan sengaja menghindari keterbukaan dan pengungkapan masalah seksual secara transparan untuk melindungi kesopanan, terkadang menyebabkan kesalahpahaman. Sebagian besar orang dewasa percaya bahwa pengetahuan seksual terutama tentang hubungan seksual menyebabkan distorsi dan aktivitas seksual dini sebelum menikah, bahwa itu tidak perlu dan merupakan hal yang berbahaya. Stigma dan rasa malu adalah salah satu alasan utama untuk menghindari wacana seksual, terutama di tingkat rumah tangga dan ini terjadi pada remaja dan orang dewasa termasuk orang tua dan guru. Salah satu cara untuk menyelesaikan masalah juga dapat dipandang dari aspek betapa bervariasi kultural yang ada di Indonesia. Jika sistem pendidikan dapat sesuai secara budaya atau dikembangkan dalam konteks pengaturan budaya lokal, maka penting mempelajari lebih lanjut tentang pentingnya budaya, kita tidak hanya perlu memahami perspektif politik negara, tetapi kita juga perlu mengkontekstualisasikan perspektif berbagai kelompok termasuk pemuka agama, guru, dan orang tua. Hal tersebut menunjukkan bahwa pemahaman tentang lingkungan multikultural membuktikan bahwa kebutuhan dan kepentingan kelompok yang beragam terpenuhi. Lebih lanjut, kebijakan terkait pendidikan multikultural menghentikan segala jenis diskriminasi terkait gender, kasta, agama, jenis kelamin, dan budaya. Dekonstruksi monokultur diperlukan untuk menciptakan multikulturalisme dan menghargai diskriminasi. Kesadaran akan masalah multikultural dalam pendidikan seksual dan hubungan membantu sistem pendidikan memiliki tanggung jawab untuk mencerminkan bentuk keragaman budaya yang lebih besar melalui pendidikan.

Pendidikan kesehatan seksual dapat dianggap sebagai pedang bermata dua karena wacana seksual akan merugikan jika terlalu terbuka atau terlalu tertutup, membuktikan kompleksitas pendidikan kesehatan seksual. Pendidikan seksual merupakan pembicaraan yang masih tabu di Indonesia, terutama dengan adanya budaya dan norma – norma yang kuat di Indonesia. Di dalam keluarga yang merupakan bagian terkecil dalam masyarakat, juga masih menganggap pendidikan seksual merupakan hal yang tabu. Orang tua yang merupakan pemimpin keluarga masih enggan membicarakan sex education kepada anak karena merasa risih dan tidak tahu bagaimana menyampaikan. Orang tua sering kali merasa bingung mencari dan menyiapkan kalimat yang layak dan tepat untuk menyampaikan edukasi seksual kepada anak. Saat orang tua masih kecil, tak jarang juga orang tua mereka gagal untuk menyampaikan dan mengajari mereka edukasi seksual, sehingga hal tersebut terulang kembali kepada generasi berikutnya.

C. Dampak dan Masalah Akibat Sex Education yang Masih Tabu di Indonesia

Di Indonesia aspek religi dan kebudayaan seakan mendefinisikan ketidaktahuan remaja akan edukasi seksual komprehensif sebagai “polos” dan hal ini mendapatkan stigma yang positif dimata masyarakat. Menurut aktivis sekaligus mantan anggota DPR Komisi VIII, Rahayu Saraswati, sulitnya penyampaian pendidikan seksualitas di Indonesia ini juga akibat tidak adanya pemisahan antara state dan religion. Artinya, semua kebijakan dikaitkan dengan iman dan keyakinan, termasuk kebijakan tentang pendidikan seksual. Ajaran agama yang melarang berhubungan seks sebelum menikah juga menjadi salah satu resistensi penyampaian pendidikan seksual secara komprehensif. Hal ini sebenarnya sangatlah kontradiktif dengan pengertian kedua aspek ini terhadap edukasi seksual yang sebenarnya.

Dalam budaya masyarakat Indonesia, edukasi seksual masih sering dianggap tabu oleh sebagian masyarakat. Hal ini juga bertentangan karena sex education penting dalam pembangunan karakter remaja. Beberapa hal yang menguatkan argumen tersebut diantaranya adalah edukasi seksual membantu menghindarkan terjadinya pelecehan seksual. Pelecehan seksual dapat dihindarkan apabila adanya pemahaman mengenai edukasi seksual baik pada korban maupun pelaku. Angka kekerasan seksual di Indonesia cukup tinggi, berdasarkan survey dari United Nations Population Fund (UNFPA) atau Dana Kependudukan PBB bekerjasama dengan Komnas Perempuan pada tahun 2021, 91,6 persen pernah mengalami, melihat, atau mendengar secara langsung setidaknya 1 jenis kekerasan seksual. Apabila pelaku mendapatkan edukasi mengenai bahaya melakukan sex bebas dan apabila korban mendapat pemahaman mengenai batasan organ intim yang tidak boleh disentuh sembarang orang, maka kemungkinan kekerasan seksual dapat terminimalisir. Selain itu, edukasi seksual dapat mencegah terjadinya penyimpangan dan kelainan seksual pada remaja. Apabila penyimpangan dan kelainan seksual tidak terjadi, maka karakter yang menjadi budaya bangsa akan tetap terjaga.

Comprehensive sexuality education merupakan aspek yang sangat penting sehingga apabila tidak diterapkan dengan baik akan menimbulkan beberapa dampak negatif, salah satunya yaitu kasus seks bebas yang berujung hamil diluar nikah pada remaja. Karena adanya batasan dalam diskusi mengenai sex education, baik dari lingkungan keluarga, sekolah, maupun masyarakat, anak-anak dan remaja cenderung menyampaikan rasa keingintahuannya melalui internet. Banyak hal baik negatif maupun positif yang tersebar di internet yang memungkinkan anak-anak yang tidak mendapatkan Comprehensive sexuality education kurang bisa memfilter. Berdasarkan data penelitian diketahui bahwa terjadi peningkatan paparan pornografi pada anak. 95,1 % anak remaja SMP dan SMA di kota besar di Indonesia, di DKI Jakarta, Yogyakarta dan Aceh telah mengakses pornografi melalui internet. Paparan pornografi akan berpengaruh pada kerusakan lima bagian otak manusia, salah satunya adalah Prefrontal Cortex (PVC) yang berperan penting dalam fungsi moral yang memicu adanya sex bebas.

Sex bebas tanpa adanya proteksi dari alat kontrasepsi dapat menyebabkan hamil diluar nikah. Proporsi perempuan usia 10-19 tahun pernah hamil 58,8 persen dan 25,2 persen sedang hamil di Indonesia sesuai dengan Riskesdas 2018. Oleh karena itu, tren kehamilan remaja membuat Indonesia berada di peringkat kedua perkawinan anak tertinggi di ASEAN. Dengan adanya hamil diluar nikah, pasangan cenderung untuk melakukan perkawinan “MBA” atau Married by Accident. Data dari Komnas Perempuan mencatat bahwa terjadi 59.709 kasus pernikahan dini yang diberikan dispensasi oleh pengadilan sepanjang tahun 2021. Walaupun angka ini sudah cukup menurun dari 2020 yaitu sebanyak 64.211 kasus, akan tetapi hal ini masih menunjukkan adanya kelalaian terhadap Undang-undang nomor 16 tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dimana usia minimal perkawinan adalah 19 tahun.

D. Perkembangan dan Langkah Selanjutnya untuk Sex Education di Indonesia

Di tengah pola pikir masyarakat yang masih dominan dengan doktrin agama dan budaya sehingga seks masih dianggap tabu, penting untuk bisa memilah apa yang sebaiknya disampaikan secara eksplisit maupun implisit agar tersampaikan dengan baik kepada masyarakat. Menurutnya, materi pendidikan seks dan reproduksi ini harus dikemas secara menarik agar dapat diterima masyarakat menurut dr. Hasto Wardoyo, Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). Pendidikan seksual merupakan salah satu upaya untuk mencegah penyimpangan seksual dengan memberikan pengetahuan tentang perubahan biologis, psikologis, dan psikososial yang dialami manusia sebagai akibat dari pertumbuhan dan perkembangan manusia. Pendidikan seksual pada hakikatnya adalah upaya untuk memberikan pengetahuan tentang fungsi alat kelamin dan menanamkan moral, etika dan komitmen untuk menghindari penyalahgunaan alat kelamin (Permatasari, 2011). Penyimpangan seksual yang terjadi pada anak-anak dan remaja tidak terlepas dari peran keluarga dan sekolah yang kurang memberikan perhatian terhadap pendidikan seksual dini. Hal ini terjadi akibat kurangnya akses, fasilitas, dan kemampuan kedua belah pihak dalam memberikan pendidikan seksual terhadap anak-anak dan remaja.

Menurut penelitian, dalam kurun waktu 2006-2013, terdapat penurunan informasi pendidikan seksual terhadap anak-anak dan remaja yang bersumber dari sekolah (sektor formal) dan keluarga (orang tua). Hal ini terjadi akibat adanya persepsi masyarakat (orang tua dan sekolah) yang masih menganggap pendidikan seksual sebagai hal yang tabu dibicarakan, padahal keduanya sama-sama memiliki peran penting sebagai sumber informasi seksualitas anak. Dengan demikian, perkembangan pendidikan seksual di Indonesia perlu mengevaluasi dan meluruskan persepsi orang tua dan sekolah mengenai pentingnya pendidikan seksual dini melalui kegiatan penyuluhan secara berkala. Melalui kegiatan penyuluhan ini, diharapkan orang tua dan sekolah mampu “meneruskan” informasi pendidikan seksual ini kepada anak-anak mereka. Selain mengubah persepsi masyarakat mengenai pendidikan seksual dini, metode pengajaran pendidikan seksual juga perlu dievaluasi dan dikembangkan, supaya mudah dipahami oleh anak-anak dan remaja. Salah satu metode pengajaran yang bisa digunakan adalah metode interaktif (belajar sambil bermain) dengan menggunakan modul anatomi, cerita dongeng, dan permainan roda berputar.

Comprehensive Sexuality Education menekankan pentingnya menempatkan consent dan etika berhubungan dengan orang lain sebagai fondasi kurikulumnya. Namun pada kenyataannya di Indonesia, pembicaraan tentang consent adalah sesuatu yang masih menuai perdebatan. Dalam sebuah penelitian mengenai “Implementasi Pendidikan Seks berbasis Sekolah”, dinyatakan bahwa program pendidikan seks meningkatkan pengetahuan siswa, mengubah sikap terhadap seks pranikah, dan mengurangi intensi untuk terlibat dalam seks pranikah. Hal ini dapat menjadi faktor pencegah kasus pernikahan anak akibat kehamilan di luar pernikahan karena hubungan seks pranikah. Pendidikan kesehatan reproduksi harus disesuaikan secara berlapis untuk dapat masuk ke dalam kurikulum sekolah, yaitu dengan memperhatikan usia dan konteks level kritis dari setiap daerah di Indonesia karena setiap daerah memiliki tanggapan yang berbeda-beda akan pendidikan seksual. Strategi penyampaian yang tidak terlalu vulgar agar tidak terjadi penolakan di masyarakat juga harus diperhatikan.

E. Daftar Pustaka

Ratna Zakiyah, Yayi Suryo Prabandari and Atik Triratnawati (2016). Tabu, hambatan budaya pendidikan seksualitas dini pada anak di Kota Dumai. Berita Kedokteran Masyarakat, [online] 32(9), pp.323–330. Available at:  https://jurnal.ugm.ac.id/bkm/article/view/10557/20627.

Goodcommerce (2022). KENAPA EDUKASI SEKS MASIH DIANGGAP TABU DI INDONESIA? [online] Froyonion.com. Available at: https://www.froyonion.com/news/kolom-bang-roy/kenapa-edukasi-seks-masih-dianggap-tabu-di-indonesia. 

International technical guidance on sexuality education An evidence-informed approach. (n.d.). [online] Available at:https://cdn.who.int/media/docs/default-source/reproductive-health/sexual-health/international-technical-guidance-on-sexuality-education.pdf. sfvrsn=10113efc_29&download=true.

Putri, A. (2019). Riset: 84 Persen Remaja Indonesia Belum Mendapatkan Pendidikan Seks.[online] detikHealth. Available at: https://health.detik.com/berita-detikhealth/d-4629842/riset-84-persen-remaja-indonesia-belum-mendapatkan-pendidikan-seks. 

Durex. (2017). Sex Education untuk Anak Muda: Mendidik atau Menjerumuskan? [online]. Available at: https://www.durex.co.id/blogs/explore-sex/sex-education-untuk-anak-muda-mendidik-atau-menjerumuskan/.

Tahamit, N. (2015). Cultural and Religious Barriers to Setting Up Sex and Relationship Education in a Muslim Country: A Case Study of Brunei Darussalam. [online] Available at: https://etheses.whiterose.ac.uk/15306/1/Thesis%20Naiyirah%20Tahamit.pdf.

Maddussila, S.A. (2019). CRIMINAL CODE BILL ARTICLE 414 AND SEX EDUCATION IN INDONESIA. Jurnal Hukum dan Peradilan, 8(3), p.407. doi:10.25216/jhp.8.3.2019.407-419.

Sanjiwani, I.A. and Pramitaresthi, I.G.A. (2021). Parents Experience in Giving Sex Education to Adolescents in North Kuta. Journal of A Sustainable Global South, 5(2), p.25. doi:10.24843/jsgs.2021.v05.i02.p06.

Ishom, M. (2017). Pentingnya Rasa Malu dan Rasa Bersalah. [online] nu.or.id. Available at: https://islam.nu.or.id/hikmah/pentingnya-rasa-malu-dan-rasa-bersalah-5WGE1.

Latifnejad Roudsari, R., Javadnoori, M., Hasanpour, M., Hazavehei, S.M.M. and Taghipour,A. (2013). Socio-cultural challenges to sexual health education for female adolescents in Iran. Iranian journal of reproductive medicine, [online] 11(2), pp.101–10. Available at: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3941358/.